Jawa Tengah Jadi Motor Ekonomi Nasional, BPS dan Pemprov Sepakat Tingkatkan Akurasi Data Statistik

Provinsi Jawa Tengah resmi mendapat perhatian khusus dari Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia dalam penguatan data statistik pembangunan. Bukan tanpa alasan, kontribusi provinsi yang dikenal sebagai lumbung pangan dan kawasan industri ini disebut memiliki pengaruh signifikan terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.

Komitmen itu ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepakatan antara BPS RI dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengenai Penyediaan, Pemanfaatan, dan Pengembangan Data serta Informasi Statistik untuk mendukung pembangunan daerah. Acara tersebut digelar di Grhadika Bhakti Praja, Semarang, pada Jumat, 4 Juli 2025.

Kepala BPS RI, Amalia Adininggar Widyasanti, menegaskan bahwa peran strategis Jawa Tengah dalam struktur ekonomi Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata.

“Setiap dinamika yang terjadi di Jawa Tengah, denyut sekecil apapun, pasti berpengaruh terhadap perekonomian nasional,” ujarnya.

Berdasarkan catatan BPS, pada 2024 perekonomian Jawa Tengah menyumbang 8,25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, menempatkannya di peringkat keempat dari 38 provinsi. Tak hanya itu, populasi usia produktif di provinsi ini pada 2025 diperkirakan mencapai 26,4 juta jiwa—setara dengan 13,45 persen dari total penduduk produktif Indonesia.

“Dengan jumlah penduduk mencapai 38,2 juta jiwa, Jawa Tengah menjadi provinsi dengan populasi terbesar ketiga nasional. Membangun Jawa Tengah artinya membangun 13,4 persen Indonesia,” kata Amalia.

Kontribusi provinsi ini tidak hanya besar dari sisi demografi. Dari total produksi beras nasional tahun 2024 sebesar 30,6 juta ton, sebanyak 16,7 persennya berasal dari Jawa Tengah. Sementara itu, sebanyak 14 persen dari 31.776 industri besar dan sedang nasional berada di provinsi ini.

Amalia menegaskan bahwa peningkatan kualitas data statistik akan difokuskan pada sektor industri, pertanian, dan investasi tiga bidang yang menjadi pilar ekonomi Jawa Tengah.

“Sepertiga dari ekonomi Jawa Tengah saat ini ditopang oleh industri manufaktur, dan sekitar 14 persen dari sektor pertanian. Visi pembangunan daerah 2025-2045 sudah sejalan, yaitu menjadi penopang industri nasional dan lumbung pangan berkelanjutan,” jelasnya.

Jawa Tengah juga disebut semakin menarik perhatian investor, termasuk dari kawasan industri di Jawa Barat yang mulai memindahkan operasinya ke provinsi ini.

“Secara metaforis, Jawa Tengah ibarat gadis cantik yang sedang tumbuh. Kita harus mengukur pertumbuhannya dengan akurat dan presisi,” ujar Amalia.

BPS mengibaratkan data statistik seperti hasil laboratorium bagi dunia kedokteran. Jika diagnosisnya salah karena data tidak akurat, maka resep kebijakan pun berpotensi keliru.

“Karena itulah kami hadir untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan benar-benar menggambarkan kondisi lapangan. Data yang bagus akan melahirkan kebijakan yang tepat,” ucap Amalia.

Kesepakatan antara BPS dan Pemprov Jawa Tengah ini menjadi yang pertama di Indonesia, dan akan menjadi dasar pelaksanaan Sensus Ekonomi (SE) 2026 agenda strategis nasional untuk memetakan seluruh aktivitas ekonomi secara menyeluruh.

“Berbeda dengan survei, sensus ini tidak mengambil sampel, tapi mencatat seluruh denyut ekonomi. Dengan adanya MoU ini, Jawa Tengah akan menjadi percontohan dalam kebijakan berbasis data atau data-driven policy,” pungkas Amalia.

Penandatanganan MoU ini mencerminkan upaya bersama dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang terukur dan berkelanjutan. Di tengah tantangan global dan ketidakpastian ekonomi, akurasi data menjadi kunci dalam merumuskan strategi yang adaptif dan responsif.

Kolaborasi antara BPS dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bukan hanya soal data, tetapi langkah konkret dalam menjadikan statistik sebagai landasan kebijakan pembangunan yang tepat sasaran menuju Indonesia yang lebih tangguh secara ekonomi.

 

 

 

Foto: Akun Pemprov Jawa Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup