Ketegangan Meningkat, Yamaha Musik Buka Suara Soal Demo Buruh dan PHK Pengurus Serikat

Ketegangan antara ratusan buruh dan manajemen PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) di kawasan industri MM2100, Cikarang Barat, memuncak dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung dua hari, Kamis hingga Jumat, 3–4 Juli 2025. Aksi ini kembali menyeret perhatian publik setelah pengurus serikat buruh menuding PHK terhadap dua pimpinannya sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berserikat.

Massa buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar demonstrasi dengan pengeras suara dan musik dari mobil komando. Aksi itu berubah menjadi tegang ketika sejumlah peserta mencoba menerobos barikade keamanan yang terdiri dari petugas perusahaan dan aparat kepolisian. Para buruh menari dan bernyanyi di gerbang pabrik, namun ketegangan meningkat saat sebagian massa mendorong pagar masuk.

“Kami tidak akan tinggal diam. PHK ini bentuk pelecehan terhadap serikat pekerja,” teriak salah satu orator di atas mobil komando.

Tuntutan yang dibawa dalam aksi kali ini mencakup, soal pembatalan PHK Ketua dan Sekretaris PUK FSPMI, Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah. Pencabutan seluruh surat peringatan terhadap anggota serikat. Pengembalian potongan upah yang dinilai tidak sesuai. Selain itu, kesepakatan soal penyesuaian upah tahun 2025 yang belum tuntas.

Aksi ini sebagai peringatan keras kepada manajemen Yamaha yang dinilai menutup pintu dialog. “Jika ini terus dibiarkan, eskalasi buruh bisa lebih tinggi. Yamaha perlu sadar bahwa hubungan industrial tak bisa dibangun dengan intimidasi,” ujar orator itu.

Di sisi lain, pihak PT Yamaha Music Manufacturing Asia menyampaikan bahwa keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Slamet dan Wiwin bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan hasil dari proses hukum yang panjang.

Direktur Human Resources PT YMMA, Lili Gunawan, menjelaskan bahwa persoalan bermula dari perundingan upah tahun 2024 yang tidak mencapai kesepakatan. Proses pun berlanjut ke mediasi tripartit yang melibatkan Dinas Ketenagakerjaan. Namun, selama proses itu, serikat buruh justru menggelar aksi yang menghambat operasional perusahaan.

“Mereka menyebutnya ‘ngopi-ngopi’, tapi faktanya mereka duduk berjam-jam di gerbang, memblokir akses keluar masuk perusahaan, hingga kendaraan operasional tidak bisa bergerak. Ini mengganggu karyawan lain, termasuk yang sedang hamil atau sakit,” jelas Lili saat dikonfirmasi.

Puncak aksi terjadi pada Oktober 2024, ketika akses keluar masuk perusahaan ditutup total. Pihak perusahaan kemudian melaporkan tiga orang ke polisi, termasuk Slamet dan Wiwin. Mereka diduga melanggar Pasal 169 KUHP karena ikut dalam aksi yang dianggap mengganggu objek vital nasional.

“Sesuai Perjanjian Kerja Bersama, karyawan yang terlibat dalam kasus hukum dapat di-PHK. Maka kami ambil langkah itu,” ujar Lili.

Menurut YMMA, aksi buruh yang berlangsung sejak Oktober 2024 hingga Maret 2025 telah menyebabkan kerugian hingga Rp 50 miliar. Kerugian itu berasal dari terhentinya produksi, upah yang tetap dibayarkan, serta biaya transportasi dan konsumsi yang tak bisa dibatalkan.

“Kami tetap membayar bus, tetap siapkan makan, meskipun produksi nol. Kalau produk tidak dibuat, pelanggan tidak bisa beli. Kalau tidak ada pembelian, bagaimana kami membayar upah karyawan?” tambah Lili.

YMMA menyatakan menghormati hak buruh untuk menyampaikan pendapat, namun meminta pemerintah dan aparat kepolisian memastikan agar kegiatan produksi tidak terganggu. Terlebih, kawasan industri MM2100 dikategorikan sebagai Objek Vital Nasional yang menurut undang-undang, tidak diperbolehkan menjadi lokasi demonstrasi.

Saat ini, sengketa antara buruh dan perusahaan sedang bergulir di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). YMMA menyatakan akan patuh pada keputusan pengadilan, namun berharap agar situasi di lapangan tetap kondusif.

Sementara itu, aksi buruh masih berlanjut. Terakhir, massa kembali menggelar demonstrasi pada Senin, 23 Juni 2025, dengan menutup akses jalan menuju perusahaan. Situasi di lapangan semakin mengkhawatirkan karena berpotensi mengganggu stabilitas industri dan iklim investasi.

“Yang kami perjuangkan bukan hanya dua orang, tapi nasib semua buruh agar tidak dibungkam,” tegas Sarino, Koordinator Aliansi Buruh Bekasi Melawan.

Pihak manajemen pun menyerukan agar semua pihak menahan diri dan menyerahkan proses pada jalur hukum. “Kami terbuka untuk berdialog, tapi tidak bisa jika caranya mengorbankan operasional perusahaan dan hak-hak karyawan lain,” tutup Lili.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup