Warisan Etika Perang dalam Lintasan Sejarah Dunia

Ketegangan geopolitik kontemporer, seperti konflik antara Iran dan Israel serta perang berkepanjangan Rusia-Ukraina, memperlihatkan bahwa perang masa kini tak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga sumber penderitaan sipil dan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan.

Meski dunia telah mengenal berbagai hukum dan konvensi internasional untuk membatasi kekejaman perang, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa etika kerap terpinggirkan. Fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, bahkan tempat ibadah menjadi target serangan. Masyarakat sipil, yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, justru menjadi korban terbesar dari konflik bersenjata.

Sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, dunia telah menyepakati berbagai peraturan tentang etika perang modern. Salah satunya adalah Konvensi Genosida tahun 1948 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kemudian disusul Hukum Humaniter Internasional (HHI) tahun 1949 yang mengikat seluruh anggota PBB. Namun efektivitas penerapan etika perang ini kerap diragukan. Tragedi kemanusiaan di Gaza menjadi salah satu bukti nyata, di mana keadilan dan akuntabilitas internasional berjalan buntu.

Perang dan Etika di Masa Lampau

Jika menilik sejarah, etika perang bukanlah konsep baru. Peradaban kuno seperti Babilonia telah merumuskannya sejak awal. Code of Hammurabi sekitar 1750 SM, salah satu hukum tertulis tertua di dunia, memuat prinsip-prinsip perlindungan terhadap warga dan infrastruktur selama masa konflik, meskipun belum membahas perang secara eksplisit.

Pada masa Romawi Kuno, sebelum pertempuran dimulai, sebuah ritual keagamaan dilakukan sebagai simbol deklarasi perang yang adil (bellum iustum). Ritual lempar tombak oleh para fetiales ke wilayah musuh menunjukkan bahwa tindakan militer harus disertai pembenaran moral dan legal. Bahkan dalam situasi darurat, Romawi tetap menjalankan prosedur simbolis untuk menegaskan legitimasi perang.

Literatur klasik seperti Aeneid karya Vergilius merekam bagaimana Romawi menyesuaikan ritual perang ketika berada di luar negeri. Dalam satu kisah, seorang tentara diminta membeli tanah asing demi memenuhi syarat etika sebelum menyerang, menegaskan bahwa pelanggaran terhadap nilai tersebut dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap tatanan sosial dan spiritual.

Religi, Dharma, dan Moralitas

Aspek religius berperan signifikan dalam merumuskan etika perang di berbagai peradaban. Dalam kebudayaan Mesir Kuno, perang harus menjunjung prinsip Maat—dewi ketertiban dan keadilan. Di India, epos Mahabharata menjelaskan dharma-yuddha, atau perang yang dijalankan dengan adil dan penuh tanggung jawab. Musuh tak boleh diserang saat lemah atau dalam kondisi tidak siap. Bahkan kemarahan tidak dibenarkan sebagai alasan untuk menyerang.

Dalam ajaran Islam, Al-Qur’an secara eksplisit melarang tindakan kekerasan terhadap anak-anak, perempuan, tempat ibadah, pemuka agama, dan lingkungan alam seperti pohon serta hewan ternak. Praktik ini dijalankan oleh tokoh seperti Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin), yang pasca merebut Yerusalem tetap memberikan akses pada peziarah Kristen sebagai bentuk penghormatan antariman.

Di Eropa, warisan Romawi berkembang melalui doktrin Just War Theory yang dirumuskan oleh tokoh Kristen seperti St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas pada abad ke-5 dan 13. Teori ini membagi etika perang ke dalam dua fase: jus ad bellum (kriteria untuk memulai perang) dan jus in bello (aturan saat perang berlangsung). Keabsahan otoritas, tujuan yang adil, dan niat murni menjadi pilar utamanya.

Namun dalam praktiknya, tafsir atas “adil” dan “benar” sering kali dipolitisasi oleh negara-negara yang berkepentingan. Teori perang yang adil pun tampak tak mampu membendung agresi yang hanya diselubungi pembenaran moral.

Tantangan Era Modern

Memasuki abad ke-20 dan 21, wajah peperangan berubah drastis seiring kemajuan teknologi senjata. Ketimpangan teknologi antara negara-negara maju dan dunia berkembang menciptakan ketidakseimbangan dalam pertempuran. Saat bangsa Eropa telah menguasai senapan api, suku-suku asli Amerika masih menggunakan alat perang tradisional.

Kini, perkembangan teknologi militer semakin tak terkendali. Dari tank, rudal, drone hingga kecerdasan buatan, seluruh inovasi itu lebih menekankan efisiensi penghancuran dibandingkan etika dalam berperang. Dunia seolah berjalan ke arah di mana peperangan menjadi urusan teknis semata, dengan mengabaikan pertimbangan moral dan spiritual.

Peneliti Nikolaos Tzenios dari Charisma University dalam jurnal Open Journal of Political Science (Januari 2023) menyatakan bahwa “doktrin perang adil lebih merupakan alat psikologis agar negara-negara merasa telah bertindak benar, meski kenyataannya bertentangan dengan ajaran agama dan etika universal.”

Menakar Ulang Etika Global

Meskipun doktrin etika perang telah berkembang dari berbagai akar budaya dan agama, pelaksanaannya kini menghadapi tantangan serius. Lemahnya penegakan hukum internasional, dominasi kekuasaan global, serta ketimpangan alutsista menjadikan prinsip-prinsip perang adil tak lebih dari narasi idealistik.

Di tengah pusaran konflik global, dunia tampaknya perlu meninjau ulang komitmen terhadap kemanusiaan, bukan sekadar melalui deklarasi dan konvensi, tetapi lewat penerapan nyata dan berani terhadap nilai-nilai universal. Sejarah telah memberikan pelajaran panjang: perang yang dijalankan tanpa etika hanya akan menghasilkan kehancuran, bukan kemenangan.

Sumber: National Geographic Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup