Jejak Sejarah Kesultanan Sambaliung: Keraton Megah di Tepian Sungai Kelay
Di balik pesona alam Kabupaten Berau yang memukau, tersembunyi kisah panjang peradaban masa lampau yang terekam dalam peninggalan sejarah nan megah: Keraton Sambaliung. Bangunan ini bukan sekadar simbol arsitektur klasik, melainkan warisan budaya Kesultanan Sambaliung yang pernah menjadi pusat kekuasaan di wilayah timur Kalimantan.
Berdiri kokoh di tepi Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung, istana tua ini menjadi saksi bisu lahirnya sebuah kerajaan yang terbentuk dari perpecahan Kesultanan Berau pada awal abad ke-19. Kesultanan Sambaliung resmi berdiri pada tahun 1810, hasil dari strategi politik kolonial Belanda yang memecah Kesultanan Berau yang berdiri sejak 1377 menjadi dua entitas: Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.
“Sebelum kedatangan Belanda, kedua garis keturunan ini hidup rukun dan bergiliran memerintah. Tapi Belanda masuk dengan politik adu domba, lalu pecahlah mereka,” ungkap Inda Pangean, pengelola Keraton Sambaliung dikutip dari Antara, Kamis (26/6/2025).
Sultan pertama Sambaliung adalah Sultan Alimuddin, atau dikenal pula sebagai Raja Alam. Ia merupakan keturunan ke-13 dari Raja pertama Berau, Aji Suryanata Kesuma. Raja Alam adalah cucu Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, tokoh penting dalam silsilah Kesultanan Berau.
Masa kejayaan Kesultanan Sambaliung berlangsung hingga tahun 1960, ketika struktur kerajaan diintegrasikan ke dalam pemerintahan modern. Sultan terakhir, Muhammad Aminuddin, kemudian diangkat menjadi Bupati pertama Kabupaten Berau.
Arsitektur dan Nilai Budaya
Keraton Sambaliung mulai dibangun pada 1881 dan rampung menjelang dekade 1930-an pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aminuddin. Gaya arsitekturnya mencerminkan akulturasi budaya Melayu, Tionghoa, dan Bugis. Bangunannya terbuat seluruhnya dari kayu ulin material khas Kalimantan yang terkenal kuat dan tahan lama.
Didominasi warna hijau dan kuning, keraton ini memiliki 13 ruangan, termasuk ruang utama, ruang meditasi, dan kamar-kamar yang dulunya digunakan oleh keluarga kerajaan. Terdapat pula empat taman, tiga di antaranya berada di bagian depan kompleks istana. Sebuah gapura besar dengan lambang kerajaan menyambut setiap pengunjung yang datang.
Di dalam ruang utama, terpajang koleksi mebel peninggalan Sultan Sambaliung, seperti meja dan kursi yang digunakan dalam pertemuan adat. Dinding ruang ini dihiasi silsilah lengkap raja-raja Sambaliung beserta foto-foto mereka. Di sisi kanan ruang utama terdapat ruang singgasana, lengkap dengan kursi raja dan lemari perlengkapan, yang tidak boleh digunakan sembarangan oleh pengunjung.
Warisan Benda Pusaka dan Kearifan Lokal
Keraton ini kini berfungsi sebagai museum yang menyimpan berbagai peninggalan sejarah, mulai dari senjata tradisional, pakaian adat, alat musik kerajaan, hingga tempat tidur replika keluarga sultan. Salah satu koleksi paling unik adalah selembar kain berumur lebih dari 120 tahun, berasal dari India dan terbuat dari serat nanas, yang dahulu digunakan untuk membalut luka.
Sebuah pedang besar milik Raja Sambaliung yang berasal dari Tiongkok juga turut dipamerkan. Bilahnya dihiasi tulisan beraksara China, menjadi bukti adanya hubungan dagang dan budaya antarbangsa pada masa lalu. Selain itu, terdapat dua tugu prasasti berbahan kayu yang mencantumkan tata krama di lingkungan istana dalam aksara Arab-Melayu dan Bugis.
Salah satu isi tugu berbunyi:
“Jangan menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan meskipun di pandanganmu adalah seorang budak…”
Nilai luhur penghormatan terhadap perempuan—bahkan yang berasal dari lapisan sosial rendah—menjadi sorotan tersendiri yang membedakan budaya kerajaan ini dari tradisi patriarkal lainnya pada masa itu.
Misteri Buaya dan Pelestarian Alam
Salah satu koleksi paling menarik perhatian publik adalah awetan seekor buaya raksasa sepanjang tujuh meter, yang kini dipajang dalam kotak kaca di halaman luar keraton. Menurut cerita yang disampaikan Inda, roh buaya tersebut pernah “merasuk” ke tubuh manusia dan menyampaikan protes karena dibunuh dan dijadikan pajangan.
“Dia bertanya, ‘kenapa saya dibunuh?’ dan katanya dia tidak suka dipajang,” tutur Inda.
Kisah buaya ini menjadi simbol penting akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan menghormati kehidupan satwa liar yang masih hidup berdampingan dengan manusia di wilayah Berau.
Wisata Edukatif dan Pelestarian Sejarah
Kini, Keraton Sambaliung tidak hanya berfungsi sebagai tempat wisata sejarah, tetapi juga menjadi pusat edukasi budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. Bangunan ini menjadi representasi nyata perjalanan panjang peradaban masyarakat Berau yang kaya akan sejarah, toleransi, dan kebijaksanaan.
Keraton Sambaliung tetap berdiri, tidak hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai penjaga ingatan kolektif masyarakat atas kejayaan masa lalu yang masih memberi makna hingga hari ini.
Foto : Antara