Pemerintah Tulis Ulang Sejarah Indonesia dalam 10 Jilid, Fadli Zon Tegaskan Bebas Kepentingan Politik

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tengah digarap oleh Kementerian Kebudayaan dengan skala besar dan ambisius. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa proyek ini murni dikerjakan oleh tim sejarawan profesional, tanpa campur tangan aktivis, politisi, atau organisasi non-pemerintah.

Dalam keterangannya seusai memberikan materi pada retret kepala daerah di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Selasa (24/6), Fadli menegaskan bahwa penulisan sejarah nasional ini bukanlah catatan tentang pelanggaran HAM atau sejarah politis, melainkan dokumentasi objektif perjalanan bangsa Indonesia dari masa prasejarah hingga era kontemporer.

“Yang menulis adalah sejarawan profesional, bukan aktivis atau politisi. Mereka memiliki latar belakang akademik, metodologi, dan keahlian historiografi. Kalau ditulis oleh pihak berkepentingan, tentu hasilnya akan bias,” ujar Fadli.

Menurutnya, penulisan sejarah nasional selama ini belum sepenuhnya mencakup keseluruhan perjalanan bangsa. Ia menyebut bahwa terakhir kali Indonesia menyusun sejarah nasional secara menyeluruh adalah lewat buku “Sejarah Nasional Indonesia” (SNI) yang dikembangkan oleh para akademisi seperti Nugroho Notosusanto dan Sartono Kartodirdjo, dengan edisi terakhir diperbarui pada 2008.

“Selama lebih dari dua dekade, Indonesia belum menulis kembali narasi sejarahnya secara komprehensif. Proyek baru ini mencakup 10 jilid dan dimulai dari era prasejarah hingga awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.

Fadli Zon menambahkan, proyek ini dikerjakan oleh tim yang terdiri dari 113 sejarawan dari 43 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Mereka memiliki latar belakang akademis yang kuat—mulai dari doktor hingga guru besar. Sejarah yang ditulis akan mencakup periode sepanjang 1,8 juta tahun, dari zaman prasejarah hingga masa kini.

Proses penulisan kini telah mencapai sekitar 70 persen. Menanggapi kritik mengenai durasi pengerjaan yang dinilai terlalu singkat, termasuk dari arkeolog senior Prof. Harry Truman Simanjuntak yang menyebut idealnya penulisan sejarah nasional butuh waktu hingga satu dekade, Fadli menanggapi dengan tegas.

“Menurut saya, dengan keahlian para sejarawan ini, waktu yang tersedia sudah cukup. Jadi tidak perlu membuat alasan yang tidak masuk akal,” katanya.

Setelah rampung, Kementerian Kebudayaan berencana menggelar diskusi publik terbuka guna membahas hasil penulisan ulang sejarah tersebut. Ini diharapkan menjadi langkah awal untuk memperkuat narasi kebangsaan dan memperkaya khazanah sejarah Indonesia secara ilmiah dan netral.

 

 

 

Foto : Antara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup