Indonesia Bidik Swasembada Gula 2028, Industri Gula Nasional Dikejar Waktu

Indonesia pernah mencatat sejarah sebagai eksportir gula terbesar kedua dunia setelah Kuba pada era 1930-an. Kala itu, Pulau Jawa dikenal sebagai “raja gula” berkat kejayaan industri gula kolonial, dengan produksi mencapai 3 juta ton dan produktivitas hingga 14 ton per hektare. Namun, kejayaan tersebut belum berhasil dipertahankan secara berkelanjutan hingga kini.

Pada 2024, industri gula nasional masih dihadapkan pada dua persoalan mendasar: rendahnya produktivitas dan tingginya ketergantungan pada impor. Produksi domestik baru mencapai 2,46 juta ton, sementara kebutuhan nasional melonjak hingga 8,1 juta ton. Meskipun ada kenaikan produksi sebesar 8,6% dibandingkan tahun sebelumnya, peningkatan tersebut belum cukup untuk mengejar laju konsumsi dalam negeri yang terus meningkat.

Masalah Produksi di Hulu: Lahan Tua, Varietas Usang

Masalah utama terletak di sisi hulu atau on-farm. Rata-rata produktivitas petani hanya 4–5 ton gula per hektare, jauh dari potensi optimal. Penyebabnya mencakup penggunaan varietas tebu yang sudah tidak produktif, metode budidaya yang belum efisien, serta penurunan kualitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebihan.

Sebanyak 86% lahan tebu rakyat bahkan sudah memasuki masa ratun ketiga atau lebih, di mana secara alami produktivitas mulai menurun drastis. Untuk mengatasi ini, pemerintah mendorong peremajaan varietas, penerapan pertanian presisi, dan reformasi teknik budidaya guna mendongkrak hasil panen.

Masalah di Hilir: Pabrik Tua dan Rendemen Rendah

Selain masalah di lahan, sisi hilir atau off-farm juga tak kalah bermasalah. Dari 62 pabrik gula aktif, 65% di antaranya berusia lebih dari 100 tahun. Mesin-mesin tua menyebabkan rendemen gula – perbandingan antara tebu dan gula yang dihasilkan – hanya 5–6%, jauh tertinggal dibandingkan pabrik modern di Thailand dan Brasil yang bisa mencapai 12%.

Musim giling pun menjadi pendek, rata-rata hanya 150 hari per tahun. Ketidakefisienan ini turut menghambat peningkatan produksi nasional.

Petani Kecil Mendominasi, Restrukturisasi Mendesak

Industri gula nasional saat ini masih didominasi oleh petani kecil, yang memasok lebih dari setengah kebutuhan produksi. Pemerintah menyiapkan skema kemitraan seperti inti-plasma dan cluster farming untuk mendorong kolaborasi antara petani dengan perusahaan besar. Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan kontribusi perkebunan besar hingga 60% tanpa meninggalkan peran petani kecil.

Peta Jalan Menuju Swasembada Gula

Sebagai langkah konkret, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Bioetanol. Target ambisius pun dicanangkan: swasembada gula konsumsi pada 2028 dan swasembada gula industri pada 2030.
Kementerian Pertanian menggulirkan berbagai program strategis, mulai dari rehabilitasi irigasi, distribusi benih unggul, hingga pembenahan kelembagaan petani. Peremajaan lahan tebu tua dijadikan prioritas dalam dua hingga tiga tahun ke depan.

Untuk mendukung produktivitas, pemerintah juga menargetkan pembukaan 200.000 hektare lahan baru dalam tiga tahun, sebagai bagian dari ekspansi menuju 700.000 hektare lahan tebu.

Digitalisasi dan KUR Tebu

Transformasi industri gula juga menyentuh aspek teknologi. Pertanian presisi mulai diterapkan dengan dukungan drone dan sistem informasi geospasial. Sementara di sisi hilir, sistem lelang digital disiapkan untuk memperbaiki tata niaga gula.

Untuk mendukung pembiayaan petani, pemerintah bersama BUMN dan sektor keuangan meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus tebu dengan bunga rendah. Skema ini ditujukan untuk memperkuat modal kerja petani sekaligus menyederhanakan akses pembiayaan.

Tantangan Struktural: Benih, Rayonisasi, dan Harga

Berbagai tantangan struktural masih menghambat. Pelepasan varietas unggul dinilai lambat, meski lembaga riset seperti BRMP telah menghasilkan benih dengan rendemen tinggi dan tahan terhadap kondisi ekstrem. Pemerintah diminta mendorong kemitraan antara lembaga riset, BUMN, dan penangkar benih untuk percepatan distribusi.

Sementara itu, lemahnya sistem rayonisasi pascareformasi membuat pasokan tebu ke pabrik tidak seimbang. Modernisasi sistem ini menjadi krusial agar pasokan merata dan efisiensi meningkat tanpa merugikan petani.

Harga juga menjadi isu penting. Pemerintah diminta menyesuaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) agar sesuai dengan inflasi dan biaya produksi. Di sisi lain, skema bagi hasil antara petani dan pabrik harus dijalankan secara adil dan transparan untuk menjaga kesejahteraan petani.

Butuh Investasi dan Sinergi Antarsektor

Transformasi industri gula juga menuntut investasi besar, baik dari BUMN maupun swasta. PTPN Group telah memulai inisiatif membuka lahan dan merevitalisasi pabrik. Namun, partisipasi swasta tetap penting dan harus difasilitasi lewat insentif fiskal, pembebasan pajak impor mesin, dan penyederhanaan perizinan.

Sinergi antarsektor menjadi kunci. Kementerian Pertanian harus bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dalam mengatur impor, serta dengan Kementerian Perindustrian untuk memastikan gula lokal terserap industri. Pemerintah daerah juga berperan penting dalam menjaga keberlanjutan lahan dan menindak tegas mafia gula.

Swasembada gula bukan sekadar agenda pertanian, tetapi strategi nasional lintas sektor yang menuntut komitmen kolektif seluruh pemangku kepentingan.

 

 

 

Foto : Antara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup