Sejarah KH Noer Ali, Singa Karawang-Bekasi: Ulama Pejuang yang Menyatukan Iman dan Perlawanan
Nama KH Noer Ali telah menjadi simbol perjuangan dan keteladanan bagi masyarakat Bekasi dan sekitarnya. Tak hanya dikenal sebagai ulama karismatik, KH Noer Ali juga merupakan pejuang kemerdekaan yang diakui negara dengan gelar Pahlawan Nasional sejak tahun 2006. Sosoknya disegani lintas generasi, dari kalangan santri hingga pejabat pemerintahan.
Lahir pada tahun 1914 di Desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, KH Noer Ali berasal dari keluarga sederhana. Ia adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara, putra pasangan Anwar bin Layu, seorang petani kelas menengah, dan Maimunah binti Tarbin, ibu rumah tangga. Sejak usia belia, kecintaannya terhadap ilmu agama sudah terlihat. Di usia delapan tahun, ia sudah mampu membaca Al-Qur’an dan menguasai dasar-dasar bahasa Arab.
Semangat belajarnya membawa Noer Ali remaja ke Cipinang Muara, Klender, untuk berguru pada ulama ternama, Guru Marzuqi. Ketekunan dan kecerdasannya membuat sang guru mempercayakannya mengajar adik-adik kelasnya. Puncaknya, pada usia dua puluhan, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama.
Di Tanah Suci, KH Noer Ali berguru pada para ulama besar seperti Syekh Umar Hamdan, Syekh Ahmad Fatoni, dan Syekh Muhammad Amin al-Quthbi. Tak hanya ilmu keislaman, ia juga menyerap wawasan politik Islam dan aktif dalam organisasi pelajar seperti Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan memimpin Persatuan Pelajar Betawi (PBB) Almanhajul Khoiri.
Sekembalinya ke tanah air pada awal 1940-an, Noer Ali mendirikan Pesantren Attaqwa di kampung halamannya. Di sinilah ia tidak hanya menyebarkan dakwah, tapi juga menanamkan semangat kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik 1945, ia membentuk Laskar Rakyat, terdiri dari sekitar 200 pemuda santri dari wilayah Babelan, Tarumajaya, Cilincing, hingga Muara Gembong. Mereka dilatih oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan diperkuat dengan latihan mental seperti puasa tujuh hari.
Salah satu babak penting dalam perjuangan Noer Ali tercatat dalam Pertempuran Sasak Kapuk pada 29 November 1945. Saat pasukan Inggris menyerbu wilayah Bekasi, mereka diadang oleh para pejuang lokal di bawah komando KH Noer Ali dan Kapten Madmuin Hasibuan. Meski akhirnya mengalami banyak korban akibat gempuran senjata berat Inggris, perlawanan itu berhasil memukul mundur pasukan sekutu dan menunda serangan mereka.
Setelah kemerdekaan, peran KH Noer Ali tak berhenti. Ia menjadi Ketua Masyumi Cabang Jatinegara pada tahun 1950 dan aktif mengembangkan dunia pendidikan. Melalui Lembaga Pendidikan Islam (LPI), ia mendirikan berbagai sekolah, mulai dari Sekolah Rakyat Islam (SRI) hingga madrasah tingkat menengah dan sekolah khusus muslimah.
KH Noer Ali wafat pada 29 Januari 1992 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Attaqwa Puteri, Bekasi. Warisannya sebagai ulama, pendidik, dan pejuang tetap hidup dalam sanubari masyarakat, menjadikannya sebagai figur panutan yang tak lekang oleh zaman.
KH Noer Ali bukan sekadar nama jalan atau gedung — ia adalah sosok nyata yang menjembatani nilai-nilai keislaman dan nasionalisme di tanah Bekasi.
Foto: Istimewa