Ratusan PKL di Sentra Grosir Cikarang Ditertibkan, Pemerintah Dikecam karena Tak Siapkan Lokasi Relokasi

Sekitar 400 pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di kawasan pasar tumpah Sentra Grosir Cikarang (SGC), Cikarang Utara, mendapatkan sosialisasi penertiban oleh petugas gabungan pada Rabu (11/6) malam. Langkah ini diambil menyusul keluhan warga terkait kemacetan parah yang terjadi setiap pagi hari di Jalan Kapten Sumantri dan Jalan Letjen Suprapto.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bekasi, Surya Wijaya, menjelaskan bahwa penertiban dilakukan secara bertahap dan telah didahului proses sosialisasi serta pendataan. Pihaknya mencatat sebanyak 270 pedagang menempati sisi timur Jalan Kapten Sumantri, 80 di sisi barat, serta 50 lainnya di sekitar Plaza Cikarang. Mayoritas pedagang berjualan di trotoar hingga meluber ke badan jalan, menyebabkan kemacetan di pusat aktivitas bisnis dan pemerintahan Cikarang.

“Keberadaan mereka menutup sepadan jalan dan menimbulkan kemacetan parah saat jam kerja. Untuk itu, kami minta pedagang hanya berjualan mulai pukul 22.00 hingga 05.00 WIB,” ujar Surya.

Namun, kebijakan pembatasan waktu ini menuai kritik dari para pedagang. Mereka menilai keputusan pemerintah belum memberikan solusi konkret atas kebutuhan ruang usaha yang legal dan terjangkau.

“Kami mau ditertibkan, tapi tempat baru belum jelas. Kalau dilarang berjualan pagi, kami harus cari makan dari mana?” kata Diki Setyawan (29), pedagang sayuran yang mewakili suara ratusan PKL lainnya.

Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Bekasi, Gatot Purnomo, mengakui bahwa hingga kini belum tersedia pasar pengganti yang layak. Revitalisasi pasar yang direncanakan sejak 2014 belum terlaksana akibat sengketa hukum dengan pemenang lelang proyek.

“Banyak pedagang berdagang bukan pada tempatnya karena pasar yang seharusnya menampung mereka mengalami kerusakan dan belum bisa difungsikan kembali,” ujar Gatot.

Untuk menata aktivitas perdagangan liar, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan waktu operasional PKL sebagai solusi jangka pendek. Gatot menyebut kebijakan tersebut diambil demi menyeimbangkan antara kepentingan pengguna jalan dan hak masyarakat untuk mencari nafkah.

“Pemerintah memiliki kewajiban menjaga keseimbangan antara hak pengguna jalan dan hak masyarakat dalam mencari nafkah. Maka, diberikan kelonggaran agar pedagang tetap bisa berjualan malam hingga dini hari,” tambahnya.

Meski begitu, Gatot menekankan bahwa area SGC bukan zona niaga, sehingga tidak diperuntukkan untuk aktivitas perdagangan. Pemerintah, menurutnya, akan melakukan pendataan ulang terhadap para PKL guna memetakan siapa saja yang benar-benar terdampak akibat tidak berfungsinya pasar resmi.

Wacana relokasi sendiri masih terkendala minimnya lokasi yang sesuai dan diterima oleh para pedagang. Beberapa titik alternatif sudah dikaji, namun ditolak karena dianggap tidak strategis dan sulit dijangkau pembeli.

“Relokasi bukan perkara mudah. Ada banyak aspek yang harus dikaji, termasuk status lahan apakah milik pemerintah daerah, provinsi, pusat, atau perorangan,” ujar Gatot.

Situasi ini kembali menyoroti tarik ulur antara kebutuhan akan ruang kota yang tertib dengan desakan ekonomi masyarakat kecil. Pengamat tata ruang lokal menilai, penertiban tanpa solusi alternatif justru akan memindahkan persoalan ke titik baru.

“Kalau penertiban dilakukan tanpa menyiapkan lahan pengganti, sama saja memindahkan masalah,” ucap seorang pegiat urban planning yang enggan disebut namanya.

Penataan PKL di SGC kini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Kabupaten Bekasi: menjaga ketertiban kota tanpa mengorbankan mata pencaharian warga kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup