MTI Usul Negara Bikin Aplikasi Ojek Online Sendiri: Demi Kesejahteraan Rakyat

Wacana pembuatan aplikasi ojek online (ojol) milik negara kembali mencuat. Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menilai bahwa Indonesia seharusnya mampu membangun aplikasi ojol sendiri untuk melindungi dan menyejahterakan para pengemudinya.

“Jika negara mengakui pengemudi ojek online sebagai lapangan pekerjaan baru, maka idealnya negara membuat aplikasi sendiri untuk menyejahterakan warganya,” kata Djoko dalam pesan elektroniknya yang diterima di Jakarta, Sabtu (13/9/2025).

Djoko mencontohkan beberapa negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, hingga India yang telah memiliki platform transportasi daring yang dikembangkan oleh negara atau lembaga lokal.

Menurutnya, jika Indonesia memiliki aplikasi nasional sendiri, potongan biaya dari pendapatan pengemudi bisa ditekan maksimal hanya 10 persen. Hal ini akan meringankan beban yang selama ini dirasakan para pengemudi.

“Berbeda dengan kondisi saat ini, pengemudi merasa terbebani karena potongan biaya dari aplikasi komersial bisa mencapai lebih dari 20 persen,” tambahnya.

Bisa Diserahkan ke Pemda, Disesuaikan dengan Kebutuhan Lokal

Djoko juga mengusulkan agar aplikasi ojol milik negara nantinya dapat diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah (pemda). Dengan demikian, model operasional bisa disesuaikan dengan kebutuhan wilayah masing-masing.

Wacana ini mengemuka di tengah penolakan sejumlah pengemudi ojol terhadap rencana penerapan tarif potongan sebesar 10 persen oleh penyedia aplikasi. Aksi unjuk rasa sempat digelar di sejumlah titik di Jakarta, termasuk depan Gedung DPR/MPR RI.

Pengamat: Ojol Masih Belum Diakui Secara Hukum sebagai Angkutan Umum

Sementara itu, pemerhati transportasi Muhammad Akbar menyoroti posisi hukum ojol yang masih lemah dalam regulasi nasional. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang tidak mencantumkan sepeda motor sebagai moda angkutan umum.

“Sepeda motor tidak termasuk angkutan umum menurut undang-undang. Artinya, secara hukum, ojek online tidak diakui sebagai bagian dari angkutan umum,” tegas Akbar.

Selama ini, operasional ojol hanya berlandaskan pada aturan teknis, yakni Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 12 Tahun 2019, yang mengatur soal tarif, keselamatan, hingga kewajiban penyedia aplikasi. Namun, menurut Akbar, regulasi ini bersifat sementara dan belum memberikan kepastian hukum yang kuat.

“Regulasi teknis ini hanya bersifat jembatan kebijakan. Selama belum ada pengakuan setingkat undang-undang, perlindungan hukum bagi pengemudi dan penumpang akan tetap lemah,” ujarnya.

Keselamatan Jadi Isu Serius

Akbar juga menyoroti isu keselamatan, mengingat sepeda motor sebagai moda transportasi hanya mengandalkan helm sebagai pelindung utama, berbeda dengan kendaraan umum lain seperti bus, kereta, atau taksi yang dilengkapi sabuk pengaman, karoseri, dan fitur keselamatan lainnya.

“Begitu kecelakaan terjadi, baik pengemudi maupun penumpang langsung berhadapan dengan aspal. Ini sangat rentan,” ungkapnya.

Menurut Akbar, menempatkan ojol sejajar dengan moda transportasi massal seperti bus atau kereta justru mengabaikan prinsip dasar keselamatan dalam sistem transportasi.

“Negara kini berada dalam posisi dilematis: apakah tetap fokus membangun transportasi massal yang modern dan aman, atau mengikuti tekanan politik karena popularitas ojol demi jutaan pengemudi yang menggantungkan hidup di jalanan,” pungkasnya.

 

 

 

 

Foto : Istimewa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup