Pemerintah Siapkan Transisi dan Zonasi Harga dalam Kebijakan Mutu dan Harga Beras Baru

Badan Pangan Nasional (Bapanas) memastikan penerapan kebijakan baru terkait standar mutu, klasifikasi, dan harga batas atas beras akan disertai masa transisi serta sistem zonasi harga. Langkah ini diambil guna menyesuaikan kondisi geografis Indonesia yang luas dan beragam, serta menjamin penerimaan kebijakan dari seluruh elemen masyarakat, baik pelaku usaha maupun konsumen.

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menegaskan pentingnya kebijakan yang terukur dan tidak diberlakukan secara tiba-tiba. “Kami bersama seluruh pemangku kepentingan, termasuk kementerian, lembaga, serta pelaku industri perberasan, rutin berdiskusi agar keputusan yang diambil dapat diimplementasikan secara efektif,” ujar Arief dalam keterangannya di Jakarta.

Menurut Arief, pemerintah telah menyusun sejumlah opsi kebijakan dan menyerahkannya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk dipertimbangkan. Ia berharap langkah ini segera disahkan guna meredam ketidakstabilan pasar beras nasional.

“Setelah keputusan ditetapkan, akan ada waktu transisi agar semua pihak bisa beradaptasi. Tapi implementasinya juga tidak bisa ditunda terlalu lama karena pasar perlu segera diseimbangkan,” jelasnya.

Zonasi Harga Sesuai Geografi

Arief juga menyoroti pentingnya pengaturan harga berdasarkan zonasi. Ia menjelaskan bahwa perbedaan harga antara daerah sentra produksi di Jawa dengan kawasan Indonesia Tengah dan Timur menjadi faktor krusial dalam penyusunan kebijakan.

“Tidak bisa diberlakukan satu harga nasional tanpa mempertimbangkan zona wilayah. Indonesia ini luas, dan perbedaan akses serta biaya distribusi perlu diperhitungkan,” ungkapnya.

Beras Reguler dan Khusus Diatur Berbeda

Dalam kebijakan baru, pemerintah akan fokus mengatur beras reguler yang dikonsumsi masyarakat luas. Standar mutu untuk beras ini mencakup tingkat derajat sosoh minimal 95% dan kadar air maksimal 14%. Komponen seperti tingkat butir pecah akan diumumkan kemudian.

Sementara itu, untuk beras khusus seperti beras merah, hitam, ketan, serta beras dengan indeks glikemik rendah atau beras organik, pemerintah hanya menetapkan persyaratan sertifikasi, tanpa mengatur harga jual. “Beras khusus dikembalikan ke mekanisme pasar, tapi tetap harus bersertifikat, tidak boleh sembarangan,” ujar Arief.

Jenis beras khusus lainnya yang diawasi termasuk beras dengan indikasi geografis tertentu, beras biofortifikasi (dengan tambahan nutrisi), serta beras kesehatan.

Perlindungan Petani Tetap Jadi Prioritas

Arief menekankan bahwa kebijakan ini akan berdampak dari hulu hingga hilir. Di tingkat petani, Presiden telah memerintahkan agar harga pembelian gabah minimal Rp6.500 per kilogram. Karena itu, harga di tingkat konsumen pun akan disesuaikan agar tetap adil bagi semua pihak.

“Kita harus pikirkan ekosistemnya secara menyeluruh, mulai dari petani, penggilingan padi, pelaku usaha, hingga ke ritel dan masyarakat,” tegasnya.

Adapun kebijakan yang saat ini tengah dimatangkan meliputi revisi Peraturan Badan Pangan Nasional No 2/2023 tentang klasifikasi mutu beras yang terdiri dari premium, medium, submedium, dan pecah. Selain itu, juga dilakukan revisi terhadap Peraturan No 5/2024 mengenai harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium di berbagai wilayah Indonesia.

 

 

 

 

Foto : Antara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup