Airu: Mutiara Terpencil Papua yang Merayakan Kemerdekaan dengan Ketangguhan
Jayapura, Papua – Di tengah rimbunnya hutan tropis dan aliran sungai yang membelah pegunungan, Distrik Airu berdiri sebagai salah satu wilayah paling terpencil di Kabupaten Jayapura. Berbatasan dengan Pegunungan Cycloop di utara dan lembah luas di selatan, Airu hanya bisa dijangkau setelah enam hingga tujuh jam perjalanan darat dari Sentani, melewati jalan berbatu, tanjakan curam, dan menyeberangi sungai tanpa jembatan permanen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura 2022, Airu dihuni sekitar 1.104 jiwa yang tersebar di enam kampung. Warga menggantungkan hidup pada pertanian lahan kering, berburu, serta menangkap ikan di sungai. Ubi jalar, keladi, pisang, dan kopi menjadi hasil utama kebun, sementara anyaman noken dan kerajinan tangan memberikan tambahan penghasilan.
Akses yang sulit kerap membuat Airu terisolasi, terutama di musim hujan ketika jalan berlumpur menahan kendaraan berhari-hari. Biaya transportasi yang tinggi berimbas pada harga kebutuhan pokok, memaksa warga bertahan lewat gotong royong dan kearifan lokal.
Meski penuh keterbatasan, suasana Airu selalu menghangat setiap Agustus. Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI menjadi momentum istimewa, diwarnai lomba tradisional, paduan suara siswa, dan pengibaran bendera di lapangan desa. Bagi warga, kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi perjuangan menembus batas keterisolasian demi pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih layak.
Dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Jayapura memprioritaskan pembangunan di Airu. Proyek pengerasan jalan dari Nawa menuju Sungai Rouffaer mulai membuka akses, sementara jembatan gantung mempermudah transportasi hasil kebun. Menara BTS dibangun meski sinyal seluler masih belum stabil.
Fasilitas publik perlahan membaik. Puskesmas Airu kini memiliki ruang rawat inap sederhana dan fasilitas persalinan. Tim medis rutin melakukan pelayanan keliling, bahkan harus menggunakan perahu di musim hujan untuk menjangkau kampung-kampung terisolasi. Pemerintah juga merencanakan rumah dinas tenaga medis dan pengadaan ambulans untuk penanganan darurat.
Di bidang pendidikan, SD dan SMP setempat mendapat bantuan buku, meja, dan kursi. Guru honorer dari wilayah sekitar direkrut agar kegiatan belajar tetap berjalan, sementara beasiswa mulai diberikan kepada siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke SMA di kota.
Perempuan Airu memegang peran sentral. Selain mengurus rumah tangga dan kebun, mereka memproduksi keripik pisang, tepung keladi, dan sirup markisa lewat pelatihan PKK. Produk ini mulai dipasarkan ke pengunjung meski terkendala biaya distribusi.
Pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan Airu memiliki akses jalan yang lebih baik, listrik desa, serta internet memadai. Dengan itu, hasil kebun seperti kopi dan vanili berpotensi menjadi komoditas unggulan, generasi muda dapat mengakses pasar lebih luas, dan layanan kesehatan tidak lagi tergantung cuaca.
Menjelang 17 Agustus, warga bergotong royong membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan setapak, dan memasang bendera di depan rumah. Anak-anak berlarian membawa layang-layang, pemuda menyiapkan lomba panjat pinang, dan ibu-ibu menyiapkan hidangan untuk pesta kampung.
Di Airu, kemerdekaan dimaknai sebagai ketangguhan untuk bertahan, berjuang, dan membangun meski jauh dari pusat kota. Di setiap jalan yang diperkeras, setiap jembatan yang dibangun, dan setiap bendera yang berkibar, tersimpan keyakinan bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika semua warga, tanpa terkecuali, menikmati hak yang sama untuk hidup layak, sehat, dan bermartabat.
Foto: Antara